“Kalau dikenakan pajak, berarti Pemprov tidak memberikan dukungan kepada warga miskin."
VIVAnews - Pelaksanaan pajak restoran yang meliputi warung tegal (warteg), kafetaria, kantin, dan warung makan lainnya dipastikan ditunda hingga 2012.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI meminta Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI untuk membahas revisi dari Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tahun ini.
Rencananya, Raperda ini akan diberlakukan pada 2012 dengan skema besaran omzet penjualan untuk jenis warung makan yang baru.
Ketua Balegda DKI Jakarta yang juga Ketua DPRD DKI Jakarta, Triwisaksana, menjelaskan pihaknya mendukung langkah Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, untuk menunda penandatanganan pengundangan Raperda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dilakukan awal Desember 2010.
“Kami mendukung langkah itu. Karena kami mempunyai pandangan yang sama terhadap penerapan raperda,” kata Triwisaksana di DPRD DKI, Jakarta, Senin, 10 Januari 2011.
Menurutnya, jenis usaha warung makan belum bisa dikenai pajak restoran sampai usaha berkembang dan tumbuh menjadi restoran atau rumah makan. Atas alasan itu maka peraturan dalam raperda belum diterapkan, melainkan tetap menerapkan peraturan perda sebelumnya yang mengatur tidak mengenakan pajak terhadap jenis usaha warung makan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengamanatkan pelaksanaan Perda turunan UU jatuh tempo pelaksanaannya hingga tahun 2012.
Sebelum memasuki masa jatuh tempo, Balegda DPRD DKI akan membahas revisi raperda pajak daerah dan retribusi daerah tahun ini. Pihaknya akan mencari cara atau solusi terbaik agar jenis usaha warung makan tidak dikenai pajak. “Secara lesan saya sudah berbicara kepada Dinas Pelayanan Pajak DKI, dan mereka sudah menyatakan setuju,” ungkapnya.
Batasan omzet penjualan yang tepat tidak akan diterapkan, sebab dapat terjadi salah pengertian dalam pemahamam pendekatan omzet. Kalau pendekatan omzet untuk menentukan obyek pajak, maka yang dikenakan pajak adalah warga yang makan di warung makan.
“Kalau dikenakan pajak itu warga miskin, berarti Pemprov tidak memberikan dukungan kepada warga miskin. Padahal komitmennya ingin meningkatkan kesejahteraan warga miskin di Ibukota,” katanya.
Begitupula jika pendekatan pajak diarahkan pada pajak penghasilan, artinya para pemilik warung makan yang dikenai pajak.
Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, Iwan Setiawandi, membenarkan peraturan perluasan pajak restoran terhadap jenis usaha warung makan ditunda penerapannya hingga 2012. “Saat ini masih terus dibahas revisinya,” kata Iwan.
Dia menjelaskan, awalnya penetapan omzet Rp167.000 per hari dianggap berbagai LSM dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sangat kecil.
Kebijakan ini ditunda dan kemungkinan besar penetapan omset per harinya diubah menjadi Rp500.000 per hari. Meski sudah menetapkan omzet pengusaha makanan dan minuman, yang akan masuk dalam daftar wajib pajak mulai Januari 2011, Iwan mengatakan pihaknya akan mengkaji lebih lanjut rencana itu.
“Termasuk di dalamnya kewajiban bagi para wajib pajak ini untuk menyertakan transaksi jual belinya dengan menggunakan bon, atau catatan yang lebih sederhana sebagai bukti adanya transaksi jual beli setiap harinya,” jelasnya.
VIVAnews - Pelaksanaan pajak restoran yang meliputi warung tegal (warteg), kafetaria, kantin, dan warung makan lainnya dipastikan ditunda hingga 2012.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI meminta Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI untuk membahas revisi dari Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tahun ini.
Rencananya, Raperda ini akan diberlakukan pada 2012 dengan skema besaran omzet penjualan untuk jenis warung makan yang baru.
Ketua Balegda DKI Jakarta yang juga Ketua DPRD DKI Jakarta, Triwisaksana, menjelaskan pihaknya mendukung langkah Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, untuk menunda penandatanganan pengundangan Raperda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dilakukan awal Desember 2010.
“Kami mendukung langkah itu. Karena kami mempunyai pandangan yang sama terhadap penerapan raperda,” kata Triwisaksana di DPRD DKI, Jakarta, Senin, 10 Januari 2011.
Menurutnya, jenis usaha warung makan belum bisa dikenai pajak restoran sampai usaha berkembang dan tumbuh menjadi restoran atau rumah makan. Atas alasan itu maka peraturan dalam raperda belum diterapkan, melainkan tetap menerapkan peraturan perda sebelumnya yang mengatur tidak mengenakan pajak terhadap jenis usaha warung makan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengamanatkan pelaksanaan Perda turunan UU jatuh tempo pelaksanaannya hingga tahun 2012.
Sebelum memasuki masa jatuh tempo, Balegda DPRD DKI akan membahas revisi raperda pajak daerah dan retribusi daerah tahun ini. Pihaknya akan mencari cara atau solusi terbaik agar jenis usaha warung makan tidak dikenai pajak. “Secara lesan saya sudah berbicara kepada Dinas Pelayanan Pajak DKI, dan mereka sudah menyatakan setuju,” ungkapnya.
Batasan omzet penjualan yang tepat tidak akan diterapkan, sebab dapat terjadi salah pengertian dalam pemahamam pendekatan omzet. Kalau pendekatan omzet untuk menentukan obyek pajak, maka yang dikenakan pajak adalah warga yang makan di warung makan.
“Kalau dikenakan pajak itu warga miskin, berarti Pemprov tidak memberikan dukungan kepada warga miskin. Padahal komitmennya ingin meningkatkan kesejahteraan warga miskin di Ibukota,” katanya.
Begitupula jika pendekatan pajak diarahkan pada pajak penghasilan, artinya para pemilik warung makan yang dikenai pajak.
Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, Iwan Setiawandi, membenarkan peraturan perluasan pajak restoran terhadap jenis usaha warung makan ditunda penerapannya hingga 2012. “Saat ini masih terus dibahas revisinya,” kata Iwan.
Dia menjelaskan, awalnya penetapan omzet Rp167.000 per hari dianggap berbagai LSM dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sangat kecil.
Kebijakan ini ditunda dan kemungkinan besar penetapan omset per harinya diubah menjadi Rp500.000 per hari. Meski sudah menetapkan omzet pengusaha makanan dan minuman, yang akan masuk dalam daftar wajib pajak mulai Januari 2011, Iwan mengatakan pihaknya akan mengkaji lebih lanjut rencana itu.
“Termasuk di dalamnya kewajiban bagi para wajib pajak ini untuk menyertakan transaksi jual belinya dengan menggunakan bon, atau catatan yang lebih sederhana sebagai bukti adanya transaksi jual beli setiap harinya,” jelasnya.